Latar Belakang Teori Dramaturgi
Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Kita
lihat kembali contoh di atas, bagaiman seorang polisi memilih perannya, juga
seorang warga negara biasa memilih sendiri peran yang dinginkannya. Goffman
menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front
mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan
untuk mengekspresikan diri). Sedangkan bagian belakang adalah the self, yaitu
semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau
penampilan diri yang ada pada Front. Berbicara mengenai Dramaturgi Erving
Goffman, maka kita tidak boleh luput untuk melihat George Herbert Mead dengan
konsep The Self, yang sangat mempengaruhi teori Goffman.
Erving Goffman lahir di Mannville, Alberta, Canada, 11 Juni 1922. Meraih
gelar Bachelor of Arts (B.A) tahun 1945, gelar Master of Arts tahun 1949 dan
gelar Philosophy Doctor (Ph.D) tahun 1953. Tahun 1958 meraih gelar Guru Besar,
tahun 1970 diangkat menjadi anggota Committee for Study of Incarceration. Dan
tepat di tahun 1977 ia memperoleh penghargaan Guggenheim. Meninggal pada tahun
1982, setelah sempat menjabat sebagai Presiden dari American Sociological
Association dari tahun 1981-1982. (Ritzer, 2004: 296)
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa, karya-karya Erving
Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert Mead yang memfokuskan pandangannya
pada The Self. Misalnya, The Presentation of self in everyday life (1955),
merupakan pandangan Goffman yang menjelaskan mengenai proses dan makna dari apa
yang disebut sebagai interaksi (antar manusia). Dengan mengambil konsep
mengenai kesadaran diri dan The Self Mead, Goffman kembali memunculkan teori
peran sebagai dasar teori Dramaturgi. Goffman mengambil pengandaian kehidupan
individu sebagai panggung sandiwara, lengkap dengan setting panggung dan akting
yang dilakukan oleh individu sebagai aktor “kehidupan.”
Dan,
bagaimanakah sebenarnya dengan “The Self” Mead tersebut ?
“Bagi Mead, The Self lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan
budaya. The Self juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para
pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam
situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui
penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang
melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan
dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran
tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi
pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri
berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. The Self disini bersifat
aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variable-variabel sosial, budaya,
maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan The Self.” (Wagiyo,
2004: 107)
Dari deskripsi di atas, Mead menegaskan bahwa The Self merupakan mahluk
hidup yang dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang
semata-mata hanya menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki,
pandangan Mead merupakan isu sentral bagi interaksionisme simbolik.
Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori
interaksi simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri
dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian
dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang
khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead
tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam
batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini,
konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap
individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan
orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya”
yang berasal dari “aku.”
Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari
ajaran-ajaran Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur sosial merupakan countless
minor synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia
–ini menurut Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat
kecil dari sebuah masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi
Goffman itu sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar
perhitungan kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita
menggunakan semua sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang
(front and back region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang
disekeliling kita. Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan pengembangan
konsep-konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi interaksionis
simbolik bahkan Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar interaksionis
simbolik. Walaupun pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada
gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk-bentuk strukturalisme masyarakat.
Esensi
Teori
Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentational of Self
in Everyday Life” memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan
teateris. Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini ini berada di
antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi (Sukidin, 2002: 103).
Maka sebelum menguraikan teori dramaturgis, perlu kita uraikan terlebih
dahulu sekilas tentang inti teori interaksi simbolik. Hal ini didasari bahwa
perspektif interaksi simbolik banyak mengilhami teori dramaturgis, di samping
persektif-perspektif yang lain.
Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school).
Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan
tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan
bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti
studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari
pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku
manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif,
inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara
dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah
dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa
konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui
adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan
struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh
Blumer.
Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar
pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard
Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis
dari interaksionisme simbolik, yaitu :
1.
|
Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan
belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam
siombol-simbol.
|
2.
|
Berbagai arti dipelajari
melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran
simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
|
3.
|
Seluruh struktur dan institusi
sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.
|
4.
|
Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan
oleh kejadian-kejadian pada masa lampa saja, tetapi juga dilakukan secara
sengaja.
|
5.
|
Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang
merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang
lain.
|
6.
|
Tingkah laku terbentuk atau
tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.
|
7.
|
Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang
individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian
seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.
|
Dari sekian banyak ahli yang punya andil popular sebagai peletak dasar
interaksi simbolik adalah George Herbert Mead yang dikembangkan pada tahun
1920-1930. Kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Herbert Blumer (1937)
sebagai mahasiswa Mead dengan menggunakan istilah interaksi simbolik. Esensi
interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia,
yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia
menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk
berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang
mengilhami perspektif dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu
eksponen interaksionisme simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai
pemikiran-pemikiran dramaturgisnya. Pandangan Goffman agaknya harus dipandang
sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori. Ia memang seorang
dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi simbolik,
fenomenologis Schutzian, formalisme Simmelian, analisis semiotic, dan bahkan
fungsionalisme Durkhemian.
Salah satu kontribusi interaksionisme simbolik (Jones) adalah penjabaran
berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap
identitas atau citra diri individu yang merupakan objek interpretasi. Dalam
kaitan ini, perhatian Goffman adalah apa yang ia sebut “ketertiban interaksi”
(interaction order) yang meliputi struktur, proses, dan produk interaksi
sosial. Ketertiban interaksi muncul untuk memenuhi kebutuhan akan pemeliharaan
“keutuhan diri.” Seperti ini pemikiran kaum interaksionis umumnya. Inti
pemikiran Goffman adalah “diri” (self), yang dijabarkan oleh Goffman dengan
cara yang unik dan memikat yaitu Teori Diri Ala Goffman (Mulyana, 2004:106).
Kalau kita perhatikan diri kita itu dihadapkan pada tuntutan untuk tidak
ragu-ragu melakukan apa yang diharapakan diri kita. Untuk memelihara citra diri
yang stabil, orang melakukan “pertunjukan” (performance) di hadapan khalayak.
Sebagai hasil dari minatnya pada “pertunjukan” itu, Goffman memusatkan
perhatian pada dramaturgi atau pandangan atas kehidupan sosial sebagai
serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung.
Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan
apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan
bagaimana mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa
pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan,
dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke
melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Burke memberikan
pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku
yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung
makna dan tidak bertujuan. Masih menurut Burke bahwa seseorang dapat
melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang ucapan-ucapan
atau menulis tentang kat-kata, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk
aksi. Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerja sama dalam
aksi-aksi mereka, bahasapun membentuk perilaku.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia,
yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan
diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena
perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat
dramatik.
Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia
berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan
tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan
pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai
aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran
mereka. Burce Gronbeck memberikan sketsa tentang ide dasar dramatisme seperti
pada gambar berikut (Littlejohn, 1996:166):
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari
pengaruh gagasan Cooley tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley
ini terdiri dari tiga komponen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita
tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagimana peniliaian mereka
atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti
kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain
tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu
gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter
teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh
olehnya.
Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke, dengan
demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme
simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis
interaksi sosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi
yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk
memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor
berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Focus
dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang aktor dari situasi kesituasi
lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang
tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi
spesifik. Menurut Goffman diri adalah “suatu hasil kerjasama” (collaborative
manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi
sosial.
Menurut interaksi simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran dan
mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam
kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam
konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang
mereka masuki, dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas
sosial, makna dan definisi situasi. Presentasi-diri seperti yang ditunjukan
Goffman, bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para
aktor, dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak
dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka
ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut
upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik
yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu
untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi
sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas penggung, yang menampilkan
peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya
sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku noverbal tertentu
serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian dan
asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor
harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri,
melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai
dengan situasi.
Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah
depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan
merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau
menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung
sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk
kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di
wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front
stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung
sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara
bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di
panggung depan.
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi
(personal front) dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap
khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya
dokter diharapkan mengenakan jas dokter dengan stetoskop menggantung
dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor.
Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur
tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya. Hingga derajat
tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan aktor. Ciri yang relatif tetap
seperti ciri fisik, termasuk ras dan usia biasanya sulit disembunyikan atau
diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan menekankan atau
melembutkannya, misalnya menghitamkan kembali rambut yang beruban dengan cat
rambut. Sementar itu setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika
aktor melakukan pertunjukan, misalnya seorang dokter bedah memerlukan ruang
operasi, seorang sopir taksi memerlukan kendaraan. (Mulyana, 2004:115)
Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung
anasir struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias
mewakili kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan
perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun
berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia
berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang
diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di pangung depan, meresa merasa bahwa
mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Hal itu
disebabkan oleh (Mulayan, 2004:116) :
1.
|
Aktor mungkin ingin
menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi (misalnya meminum minuman
keras sebelum pertunjukan).
|
2.
|
Aktor mungkin ingin
menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunujkan,
langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut (misalnya
sopir taksi menyembunyikan fakta bahwa ia mulai salah arah).
|
3.
|
Aktor mungkin merasa perlu menunjukan
hanya produk akhir dan menyembunyikan proses memproduksinya (missal dosen
menghabisakan waktu beberapa jam untuk memberi kuliah, namun mereka bertindak
seolah-olah telah lama memahami materi kuliah).
|
4.
|
Aktor mungkin perlu
menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari
khalayak (kerja kotor itu mungkin meliputi tugas-tugas yang “secara fisik
kotor, semi-legal, dan menghinakan”)
|
Dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan
standar lain (missal menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang
dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung) (Ritzer, 2004:298).
Aspek lain dari dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering
berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak
sosial lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya.
Goffman mengakui bahwa orang tidak selamanya ingin menunjukan peran formalnya
dalam panggung depannya. Orang mungkin memainkan suatu perasaan, meskipun ia
menggan akan peran tersebut, atau menunjukkan keengganannya untuk memainkannya
padahal ia senang bukan kepalang akan peran tersebut. Akan tetapi menurut
Goffman, ketika orang melakukan hal semacam itu, mereka tidak bermaksud membebaskan
diri sama sekali dari peran sosial atau identitas mereka yang formal itu, namun
karena ada perasaan sosial dan identitas lain yang menguntungkan mereka.
Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga
kelompok atau apa yang ia sebut tim. Selain membawakan peran dan karakter
secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain
terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, parati politik, atau
organisasi lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim
pertunjukan” (performance team) yang mendramatiasikan suatu aktivitas.
Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga
penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan pertunjukan
dengan matang dan jalannya pertunjukan, memain pemain inti yang layak,
melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin , dan kalau perlu juag
memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu
memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan atau
isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus. (Mulyana, 2004:123)
Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat
bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang
rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap
terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga dapat
dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan sukses,
khalayak juga harus berpartisipasi untuk menjaga agar pertunjukan secara
keseluruhan berjalan lancar.
Dalam perspektif Goffman unsur penting lainnya adalah pandangan bahwa
interaksi mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan berbagai ritual,
aspek-aspek “remeh” dalam perilaku yang sering luput dari perhatian orang
merupakan bukti-bukti penting, seperti kontak mata antara orang-orang yang
tidak saling mengenal ditempat umum. Bagi Goffman, perilaku orang-orang yang
terlibat dalam interaksi yang sepintas tampak otomatis itu menunjukan pola-pola
tertentu yanbg fungsional. Perilaku saling melirik satu sama lain untuk
kemudian berpaling lagi kearah lain menunjukan bahwa orang-orang yang tidak
saling mengenal itu menaruh kepercayaan untuk tidak saling mengganggu.
(Mulyana, 2004: 126)
Bagi Goffman, tampaknya hamper tidak ada isyarat nonverbal yang kosong
dari makna. Isyarat yang tampak sepelepun, seperti “berpaling ke arah lain,”
atau “menjaga jarak” dengan orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi
orang adalah ritual antarpribadi atau dalam istilah Goffman menghargai diri
yang “keramat” (“sacred” self), bukan sekedar adat kebiasaan. Tindakan-tindakan
tersebut menandakan keterlibatan sang aktor dan hubungan yang terbina dengan
orang lain, juga menunjukan bahwa sang aktor layak atau berharga sebagai
manusia. Maka penghargaan atas diri yang keramat ini dibalas dengan tindakn
serupa, sehingga berlangsunglah upacara kecil tersebut.
Kehidupan manusia tampaknya akan berjalan “normal” bila kita mengikuti
ritual-ritula kecil dalam interaksi ini, meskipun kita tidak selamanya
menjalankannya. Etiket adalah yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam
suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan
anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur diri-sendiri, yang
mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam rangka
kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang diterima secara sosial, salah
satunya adalah lewat ritual, Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri
yang kita proyeksikan dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari
kontrol sosial yang saling mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah
adalah suatu citra-diri yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang
layak adalah bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan mengenai
kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir.
Untuk menunjukkan bahwa kita orang yang beradab, kita begitu peduli
dengan tatakrama sebelum kita melakukan sesuatu, tetapi ada kalanya kita melanggar
etiket tersebut. Misalnya kita datang terlambat kesuatu pertemuan penting.
Ketika kita menyadarinya, kita hamper selalu apa yang oleh Goffman disebut
“berbagai tindakan perbaikan” (remedial work of various kind) yang fungsinya
mengubah hal yang opensif menjadi hal yang diterima.